Larangan Meminta Ruqyah

Mengapa ada hadist yang Melarang Meminta di Ruqyah tapi dalam redaksi hadist lain ada yang menyatakan minta Ruqyah di bolehkan .

Kita semua tahu golongan Masyarakat tidak semua hfal alqur,an dan Doa rukqyah jadi mungkin inilah mengapa ada hadist nabi yang memperbolehkan seseorang meruqyah atau minta di Ruqyah , tapi akan lebih baik jika anda mempelajari Do,a dan surat- surat dalam al qur'an nul karim yang bisa untuk Ruqyah Mandiri tanpa bantuan atau Meminta Ustadz atau Kiyai untuk meruqyahnya .

Berikut Redaksi Hadist yang melarang dan membolehkanya meminta Ruqyah .


Terkadang satu redaksi hadits melengkapi redaksi lainnya. 
Namun terkadang juga satu redaksi sedikit agak bertentangan dengan redaksi lainnya padahal menjelaskan tema yang sama. 
Sebagai contoh ada hadits yang menyatakan di antara 70.000 
orang yang masuk surga tanpa dihisab adalah orang yang tidak minta diruqyah.

Al Hadist :

Telah menceritakan kepada kami Imran bin Maisarah telah menceritakan kepada kami Ibnu Al Fudlail telah menceritakan kepada kami Hushain dari ‘Amir dari Imran bin Hushain radliallahu ‘anhuma dia berkata; “Tidak ada ruqyah (jampi-jampi dari Qur’an dan Sunnah) kecuali dari penyakit ‘Ain atau demam, lalu hal itu kusampaikan kepada Sa’id bin Jubair, dia berkata; telah menceritakan kepada kami Ibnu Abbas Rasulullah s.a.w.bersabda: 
“Di beritahukan kepadaku (oleh Jibril); “Ini adalah ummatmu, dan di antara mereka terdapat 70.000  yang masuk surga tanpa hisab.” 
Setelah itu beliau masuk ke rumah dan belum sempat memberi penjelasan kepada mereka (para sahabat), maka orang-orang menjadi ribut, mereka berkata; “Kita adalah orang-orang yang telah beriman kepada Allah dan mengikuti jejak Rasul-Nya, mungkinkah kelompok tersebut adalah kita ataukah anak-anak kita yang dilahirkan dalam keadaan Islam sementara kita dilahirkan di zaman Jahiliyah?.” 
Maka hal itu sampai kepada Nabi s.a.w., lantas beliau keluar dan bersabda: “Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah minta untuk di Ruqyah, tidak pernah bertathayur (menganggap sial pada binatang) dan tidak pula melakukan terapi dengan kay (terapi dengan menempelkan besi panas pada daerah yang sakit), sedangkan kepada Rabb mereka bertawakkal.” Lalu Ukasah bin Mihshan berkata; “Apakah aku termasuk di antara mereka ya Rasulullah?” beliau menjawab; “Ya.” 
Selanjutnya sahabat yang lain berdiri dan berkata; “Apakah aku termasuk dari mereka?” beliau bersabda: “Ukasah telah mendahuluimu.” 
(H.R. Bukhari No. 5270)

Demikian pula pada hadits yang lain dikatakan :

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Manshur Dari Mujahid dari ‘Aqqar bin Al Mughirah bin Syu’bah dari bapaknya ia berkata; 
Rasulullah s.a.w. bersabda: 
“Barangsiapa yang berobat dengan Kay atau meminta untuk diruqyah, maka sungguhnya ia telah berlepas diri dari sifat tawakkal.” 
(H.R. Tirmidzi No. 1980) 

Hadist tersebut diatas di nyatakan sahih oleh Nashiruddin Al-Albani 
yang jadi panutan para pembenci Maulid Nabi. 
Abu Isa berkata; Hadits semakna juga diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, dan Imran bin Husain. Abu Isa berkata : “Ini adalah hadits hasan shahih”

Jika melihat satu hadits ini saja maka orang bisa berkesimpulan bahwa tidak boleh minta diruqyah atau ruqyah itu haram. 

Namun dalam kesempatan lain banyak hadits yang meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. yang menyuruh seseorang untuk melakukan ruqyah, atau Rasulullah melakukan ruqyah baik atas inisiatif Beliau sendiri maupun atas permintaan seseorang.

Rasulullah s.a.w. bersabda: 
“Dari mana kalian mengetahui bahwa Al Fatihah adalah ruqyah? 
Sesungguhnya kalian telah berbuat baik, bagilah dan berilah aku bagian bersama kalian.” 
(H.R. Abu Daud No. 3401)

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Idris dari Muhammad bin ‘Umarah dari Abu Bakar bin Muhammad bahwa Khalidah binti Anas Ummu bani Hazm As Sa’idi datang menemui Nabi s.a.w., dia meminta pertimbangan kepada beliau untuk diruqyah, maka beliau memerintahkan agar di ruqyah.” (H.R. Ibnu Majah No. 3505) 

Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Humaid bin Qais Al Makki berkata; 
“Suatu ketika dua anak Ja’far bin Abu Thalib dibawa ke hadapan Rasulullah s.a.w.. 
Beliau bertanya kepada perawatnya: “Kenapa aku melihat keduanya sangat kurus?” penjaganya menjawab, “Wahai Rasulullah, penyakit ‘ain telah menyerang mereka berdua dengan cepat. Tidak ada yang menghalangi kami untuk meminta mereka diruqyah, hanya saja kami tidak mengetahui apakah anda menyetujuinya.’ 
Rasulullah s.a.w.lalu bersabda: ‘Ruqyahlah mereka!” 
(H.R. Imam Malik dalam Al-Muwatha’ No. 1473)

Bahkan Malaikat Jibril pun mengajari ruqyah pada Rasulullah s.a.w.ketika Rasulullah sakit

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abu ‘Umar Al Makki; Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul ‘Aziz Ad Darawardi dari Yazid yaitu Ibnu ‘Abdillah bin Usamah bin Al Hadi dari Muhammad bin Ibrahim dari Abu Salamah bin ‘Abdur Rahman dari ‘Aisyah istri Nabi s.a.w.dia berkata; “Bila Rasulullah s.a.w.sakit, Jibril datang meruqyahnya (Nabi s.a.w). Jibril mengucapkan; ‘Bismillaahi yubriika, wa min kulli daa-in yusyfika, wa min syarri hasidin idza hasad, wa syarri kulli dzi ‘ainin.’ Dengan nama Allah yang menciptakanmu. Dia-lah Allah yang menyembuhkanmu dari segala macam penyakit dan dari kejahatan pendengki ketika ia mendengki serta segala macam kejahatan sorotan mata jahat semua makhluk yang memandang dengan kedengkian.
 (H.R. Muslim No. 4055)

Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Hilal Ash Shawaf; Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Warits; Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul ‘Aziz bin Shuhaib dari Abu Nadhrah dari Abu Sa’id : “Bahwa Jibril mendatangi Nabi s.a.w.kemudian berkata; “Hai Muhammad, apakah kamu sakit? Rasulullah s.a.w.menjawab: ‘Ya. Aku sakit. Lalu Jibril meruqyah beliau dengan mengucapkan; ‘Dengan nama Allah aku meruqyahmu dari segala sesuatu yang menyakitimu dan dari kejahatan segala makhluk atau kejahatan mata yang dengki. Allah lah yang menyembuhkanmu. Dengan nama Allah aku meruqyahmu.” 
(H.R. Muslim No. 4056)

Maka duduk masalah sebenarnya Rasulllah memang pernah melarang meruqyah (menjampi) karena pada awalnya pengaruh budaya jahiliyah masih kuat dan kebanyakan ruqyah yang dibaca oleh masyarakat adalah ruqyah syirkiyah (bacaan ruqyah yang mengandugn kesyirikan seperti menyebut nama dewa, menyebut raja jin dll) maka Rasulullah s.a.w. ketika itu melarang ruqyah. Namun setelah ruqyah syar’I itu diajarkan oleh Jibril dan kemudian banyak doa-doa lainnya diajarkan oleh Rasulullah s.a.w. mengatakan bahwa sebenarnya yang dilarang itu adalah ruqyah yang syirik sedangkan jika tidak mengandung kesyirikan tidak mengapa.

Kami bertanya kepada Rasulullah s.a.w.; ‘Ya Rasulullah! bagaimana pendapat Anda tentang mantera? ‘ Jawab beliau: ‘Peragakanlah ruqyahmu itu di hadapanku. 
Ruqyah itu tidak ada salahnya selama tidak mengandung syirik.’ 
(H.R. Muslim No. 4079)

‘Amr berkata; Wahai Rasulullah, dahulu anda pernah melarang ruqyah Beliau bersabda: “Bacakan hal itu kepadaku”, lalu dia membacanya, Rasulullah s.a.w.  bersabda: “Tidak mengapa, sebab ruqyah pada hakikatnya adalah penawar (pelindung).” 
(H.R. Ahmad No. 14699)

Jangan Jadikan Ruqyah sebagai mata pencaharian .

Jangan jadikan ruqyah sebagai ladang pencaharian seperti yang terjadi saat ini Mulai banyak bertebaran Clinik ( klinik ) Ruqyah center yang memberikan paket terapi Ruqyah dengan tarip Bahkan sampai ada yang memberikan Paket Terapi dengan Harga tertentu . padahal ada hadist yang melarang menjadikan ruqyah sebagai mata pencaharian . 
Beda menerima upah dengan pencaharian .


Menjadikan ruqyah sebagai profesi atau mata pencaharian.

Ini adalah penyimpangan dalam praktek ruqyah karena tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah dan para shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. 
Yang diamalkan oleh para ulama dan diajarkan oleh As-Sunnah bahwa seseorang meruqyah saudaranya, baik dengan upah atau tidak untuk memberi kemanfaatan bagi saudara-nya. 
Namun mereka tidak menjadikan amalan ruqyah sebagai profesi layaknya seorang dokter. Sungguh yang demikian itu hanya muncul dari orang-orang yang datang belakangan. 

Padahal di masa ulama salaf juga banyak orang yang membutuhkan ruqyah. 
Tetapi mereka tidak melakukannya, berarti meninggalkannya merupakan kebaikan. Sebaik-baik petunjuk adalah mengikuti jejak Ulama salaf.

Asy-Syaikh ‘Ali bin Nashir Al-Faqihi berkomentar tentang hal ini sebagai berikut:

“Barangkali seseorang akan bertanya-tanya, ‘Apakah di masa lampau ada seorang ulama salaf yang baik, yang berprofesi sebagai peruqyah baik secara gratis atau dengan mengambil upah, karena hal itu diperbolehkan?’

Aku tidak mengira bahwa ada seseorang yang bisa menetapkan hal itu. 
Sungguh dahulu bila seseorang datang dan meminta ruqyah dari para ulama dan orang-orang baik serta bertakwa, mereka meruq-yahnya dengan ruqyah-ruqyah yang disya-riatkan lalu selesai urusannya tanpa meminta imbalan atau upah. 

Sebagian manusia telah menyimpang dari para ulama salaf yang baik dalam perkara ini. Seperti yang kita lihat pada hari ini di mana telah dibuka berbagai klinik Ruqyah center 
(atau yang bisa disamakan dengan klinik terapi pengobatan, red.) 
yang berorientasi bisnis disertai iklan bahwa kliniknya memiliki ‘pakar-pakar dan ustad-ustad yang ahli dalam ruqyah syarriyah ’ yang menangani secara khusus ruqyah syar’i , yang dimaksud beliau adalah ruqyah center yang sekarang sedang menjamur di mana-mana, pen. 

Sementara yang selain mereka dianggap tidak bisa memberi kemanfaatan kepada manusia bahkan kadang mereka para beranggapan mereka paling sunah dan paling murni tauhidnya hingga bisa ahli dalam Ruqyah (dengan ruqyah itu). 
Padahal ruqyah tidaklah terbatas pada orang-orang tertentu saja. 

Jika memang ada yang minta di ruqyah berikut ketentuan yang harus 
di perhatikan sang peruqyah .


Jangan Memukul, mencekik, membuat gerakan seperti menyembelih walau hanya berupa gerakan dengan jari tangan atau yang semacamnya ketika meruqyah
Semua ini tidak dicontohkan oleh Rasulullah da maupun ulama shalih. 

Memang diriwayatkan bahwa sebagian ulama melakukan hal itu ketika meruqyah. 
Namun hal ini sekedarnya saja, dan tidak menjadi kebiasaan atau bagian 
aktivitas dalam ruqyah. 

Apalagi jika dilakukan dengan cara yang keras dan kasar sehingga menyakiti pasiennya. 
Ini jelas merupakan kedzaliman yang dilarang oleh Allah SWT. 

Bahkan Rasulullah n terkadang hanya menyebutkan:
“Keluarlah wahai musuh Allah.”
Hanya dengan demikian, orang yang kemasukan jin sembuh dari penyakitnya.

Praktisi Ruqyah dilarang Banyak berdialog dengan jin

Banyak berdialog dengan jin Hal ini lebih baik ditinggalkan. 
Rasulullah dan ulama salaf  tidak pernah mencontohkan yang demikian dalam meruqyah. Hanya orang-orang belakangan yang melakukannya. 

Berdialog dengan jin ketika meruqyah akan melalaikan dari ruqyah itu sendiri. 
Lagipula, perbuatan ini tidak membawa manfaat yang nyata bagi yang diruqyah. 
Semestinya peruqyah berupaya sesegera mungkin mengusir jin yang merasuki pasiennya dengan ruqyah syar’i dan tidak berlambat-lambat.

Berdialog dengan jin tentunya akan menunda kesembuhan bagi yang dirasuki jin itu. 
Tentunya sikap tidak berdialog dengan jin merupakan bentuk kasih sayang kepada orang yang kerasukan. Sebab ketika jin diajak berdialog, dia akan menggunakan fisik orang yang kemasukan. Sehingga tatkala ruqyah selesai dilakukan, orang itu terlihat sangat letih karena tubuhnya dipakai oleh jin untuk melayani acara dialog yang digelar oleh si peruqyah. 

Sesungguhnya dialog yang dilakukan bersama jin cenderung sia-sia, karena ucapannya tidak bisa dipegang mentah-mentah, ingat sebaik-baik jin adalah sejahil-jahilnya dan sejahat-jahatnya manusia .

Pemberitaan jin tentang identitas diri, komunitas, dan ke-Islamannya serta berbagai hal lainnya adalah perkara yang tidak bisa dipastikan kebenarannya. 
Manusia tidak bisa mengetahui keberadaan dan kondisi jin yang sesungguhnya. 
Oleh karena itu, bagaimana kita bisa membenar-kan ucapannya?
Sebagaimana yang telah lalu bahwa para ulama hadits melemahkan periwayatan 
jin muslim karena kebenarannya tidak bisa diteliti dan dibuktikan. 

Tentu penyebabnya adalah keberadaan jin sebagai makhluk ghaib. 
Bahkan Rasulullah n mengatakan kepada Abu Hurairah z yang berhasil menangkap setan jin yang biasa mencuri kurma zakat:

“Dia jujur kepadamu padahal dia seorang pendusta.” 
(HR. Al-Bukhari).

Hadits ini menunjukkan bahwa kebiasaannya ( Jin ) adalah berdusta. 
Kejujuran-nya tidak diketahui kecuali setelah diberitakan Rasulullah . 

Yang jelas, manusia tidak bisa mengetahui kebenaran jin, baik sedikit ataupun banyak. 
Karena itu,  hendaknya seorang peruqyah meninggalkan berdialog dengan jin yang sedang merasuki tubuh pasiennya, kecuali bila memang sangat dibutuhkan. 
Dalam kondisi yang sangat dibutuhkan dia berdialog dengan jin itu 
seperlunya dan tidak melebihi kebutuhan. 
Setiap kebutuhan diukur dengan kadarnya dan tidak lebih dari itu.


Hendaknya imam-imam masjid diarahkan agar mereka menerangkan dalam khutbah dan pelajaran-pelajaran mereka tentang ruqyah syar’i, dan menerangkan pula bahwa ruqyah itu dengan membaca Al-Qur`an yang mulia dan As-Sunnah yang shahih. Niscaya di setiap kota dan kampung akan didapatkan orang yang bisa meruqyah dengan cara yang disyariatkan. 

Orang yang bertakwa dan shalih adalah orang yang tepat untuk melakukan ruqyah itu (tanpa menjadikannya sebagai profesi, pent.). 
Mereka itu –alhamdulillah– ada di setiap pelosok negeri.
Demikian pula dianjurkan seorang muslim untuk menguatkan imannya, tawakalnya, dan penyandaran dirinya kepada Allah I dalam seluruh perkara. 
Demikianlah, kita memohon kepada Allah I niat yang baik dan bimbingan-Nya bagi kita semua.” 
(Lihat Ahkam Ar-Ruqa wa At-Tama`im hal. 82).

Menjadikan ruqyah sebagai arena ikhtilath 
(campur baur antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram tanpa hijab) 
atau khalwat ;seorang lelaki berduaan dengan wanita yang bukan mahram, tanpa disertai mahram si wanita.
Ini merupakan pelanggaran syariat yang nyata dalam praktek ruqyah yang dilakukan oleh banyak pihak dari kaum muslimin. 
Padahal Islam telah meng-haruskan para wanita untuk berhijab dari para lelaki yang bukan mahramnya. 

Allah SWT berfirman:

“Apabila kalian meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (para istri Nabi), maka mintalah dari belakang hijab (tabir). 
Cara yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka.” 
(Al-Ahzab: 53).

Jika Allah SWT melarang para sahabat untuk meminta sesuatu kepada istri-istri Nabi kecuali dari belakang hijab –padahal mereka adalah orang-orang 
suci– dengan alasan untuk menyucikan hati-hati mereka, bagaimana dengan yang selain mereka yang tidak suci sebagaimana mereka? 
Semoga Allah SWT tidak membutakan hati-hati kita.
Islam juga melarang khalwat antara lelaki dan wanita yang bukan mahram tanpa kehadiran mahramnya. 

Rasulullah SAW bersabda:

“Janganlah seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali bila si wanita itu bersama mahramnya. 
Dan janganlah seorang wanita bepergian jauh kecuali bersama mahramnya. Bangkitlah seorang laki-laki dan bertanya:
 “Wahai Rasulullah, sesungguhnya istriku telah keluar untuk pergi haji, sedangkan aku telah mendaftarkan diri untuk ikut serta dalam peperangan ini dan itu? 
Beliau pun bersabda: ‘Berangkatlah dan hajilah bersama istrimu’.” 
(HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Banyak pula di antara peruqyah yang berhadapan langsung dengan pasien wanitanya dalam jarak yang sangat dekat. 
Sehingga mereka meruqyah sekaligus me-ru`yah (melihat) wanita yang bukan mahramnya dengan puas dan tanpa sungkan-sungkan. 

Padahal Allah SWT berfirman:
“Katakanlah kepada kaum mukminin: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala yang mereka perbuat.’ Dan katakanlah kepada kaum mukminat: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya’.” 
(An-Nur: 30-31).

Bahkan lebih dari itu, para wanita yang datang untuk diruqyah banyak yang berpakaian dengan model yang tidak diperbolehkan dalam Islam karena tidak menutup aurat secara sempurna. 
Pakaian mereka walaupun sebagiannya dilengkapi dengan jilbab (gaul), tetapi lekukan tubuh mereka masih kelihatan jelas. 
Mereka mengenakan jeans atau celana panjang dan baju yang tidak lebar, bahkan ketat. Belum lagi warna pakaian mereka yang norak dan menarik disertai bersolek ala jahiliyyah. Dengan penampilan yang demikian, sebagian wanita itu bila KERASUKAN JIN atau Jin dari wanita yang diruqyah bereaksi ada yang tertawa, menangis, dan tergeletak dengan bentuk tubuh yang tampak di hadapan laki-laki yang meruqyah. 

Banyak peruqyah memegang bagian tubuh wanita yang diruqyah, walaupun dengan memakai sarung tangan tetapi sentuhannya tetap saja dirasa oleh kedua belah pihak. Dengan bebas, sang peruqyah memegang dan melihat wanita yang sedang menjadi pasiennya. 

Bukankah ini pelanggaran yang nyata terhadap syariat? 
Apakah mereka tidak takut kepada Allah swt ketika melakukan pelanggaran itu?

Jika mereka beralasan bahwa ini dilakukan dalam rangka pengobatan, maka yang demikian tidaklah tepat. Karena ruqyah bisa dilakukan tanpa harus melanggar ketentuan syariat Islam. 

Ruqyah bukanlah hujjah untuk menghalalkan segala cara. 
Ruqyah adalah amalan yang disyariatkan, maka semestinya dipraktekkan tanpa melanggar ketentuan-ketentuan syariat lainnya.
Karena praktek ruqyah yang menyim-pang ini, banyak kaum lelaki dan wanita yang terfitnah hati dan agamanya. 

Sebab mereka adalah keturunan Nabi Adam dan Hawa yang memiliki ketertarikan terhadap lawan jenisnya. 
Ambillah pelajaran wahai orang-orang yang berfikir. 
Wallahul Musta’an wa ‘alaihi tiklan.

Praktek ruqyah yang diabadi-kan dengan kamera, foto, dan gambar 
bahkan Video . Ini merupakan praktek ruqyah yang melanggar syariat, walaupun dengan alasan untuk pengajaran ruqyah, sosialisasi, penyebarluasan ruqyah syar’i, atau alasan lainnya. Karena Rasulullah saw, telah memberitakan bahwa di antara orang yang paling keras siksanya di hari kiamat nanti adalah para penggambar.
Hal ini sebagaimana yang diriwayat-kan oleh Abdullah bin Mas’ud z, bahwa 

Rasulullah n bersabda:
“Sesungguhnya manusia yang paling keras adzabnya di sisi Allah pada hari kiamat nanti adalah para penggambar.” 
(HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar , bahwa Rasulullah saw, bersabda:

“Sesungguhnya orang-orang yang membuat gambar-gambar ini diadzab 
di hari kiamat nanti, dinyatakan kepada mereka: 
‘Hidupkanlah apa yang telah kalian ciptakan’.” 
(HR. Al-Bukhari).

Gambar tangan (manual) atau foto (digital) hukumnya sama yaitu haram. 
Karena keduanya disebut sebagai gambar. 
Sedangkan Rasulullah saw menjatuhkan hukum yang satu pada segala gambar yang bernyawa sebagaimana hadits di atas. Wallahu a’lam.

Inilah beberapa praktek ruqyah yang menyimpang dan sering terjadi di tengah kaum muslimin saat ini . Kami yakin masih banyak lagi penyimpangan praktek ruqyah yang terjadi di kalangan mereka.

Semoga yang kami sebutkan cukup bagi mereka sebagai peringatan untuk berhati-hati dari para peruqyah  yang melanggar syariat Allah Swt. 
Kami berharap kepada Allah I swt semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin yang membacanya dengan harapan dapat meraih ilmu 
dan kebaikan dunia dan akhirat.

Wallahu a’lam bish shawab.

Diambil dari beberapa sumber :